Dahulu kampung kelahiranku ini disebut Tjigoedik atau ditulis juga sebagai Tjigoedeg. Saya masih ingat tulisan itu tertera pada dinding pilar jembatan pendek tepatnya diujung barat pinggiran danau Setu Cigudeg, diatas Jalan raya yang menghubungkan kota Bogor dengan Rangkas Bitung (Banten) melalui Jasinga, sebuah kecamatan yang berbatasan dengan kabupaten Banten, Sekarang tulisan itu sudah tidak ada.
Cigudeg merupakan sebuah kecamatan di kabupaten bogor bagian barat . Jaraknya kurang lebih 40 km dari pusat kota Bogor. Secara geografis, Cigudeg terletak pada 6° 32′ 54″ LS , 106° 31′ 51″ BT dengan ketinggian 800 meter dpal.
Bukti sejarah lama yang ditemukan disekitarnya adalah Prasasti Pasir Koleangkak yang terletak di Kampung Pasir Gintung Kecamatan Nanggung yang berbatasan dengan Kecamatan Cigudeg. Prasasti ini adalah peninggalan sejarah pada masa Kerajaan Tarumanagara, sebuah kerajaan yang pernah berkuasa di wilayah barat pulau Jawa pada abad ke-4 hingga abad ke-7 M. Taruma merupakan salahsatu kerajaan tertua di Nusantara yang meninggalkan catatan sejarah dan peninggalan artefak di sekitar lokasi kerajaan yang meliputi hampir seluruh Jawa Barat yang membentang dari Banten, Jakarta, Bogor sapai ke Cirebon. Pada tahun 1920 – 1960, masih terlihat banyak sekali artefak ditemukan disana termasuk patung-patung batu (Arca) yang tersebar diwilayah kecamatan Cigudeg. Sekarang semuanya sudah raib karena pernah terbengkalai puluhan tahun lamanya. Di Gunung Tela yang terbujur sangat indah disebelah utara desa Cigudeg kemungkinan masih menyimpan sebuah misteri sejarah lebih jauh tentang keberadaan desa ini termasuk desa-desa disekitarnya yang membentang dari timur ke barat.
Sejak zaman dahulu hingga tahun 1920, Cigudeg tidak pernah disebut dalam literature sejarah maupun literature perkembangan ekonomi di Indonesia. Tahun 1809 waktu itu Bolang lebih dikenal sebagai sebutan bagi Cigudeg sudah merupakan wilayah perkebunan teh, kopi dan Kelapa Sawit kepunyaan Gerrit Willem Casimir van Motman, yang menguasai wilayah bogor bagian barat. Ia lahir di Belanda tahun 1773 dan meninggal di Dramaga tahun 1821. Dia mempunyai dua rumah besar (landhuis), satu di Dramaga (Kampus IPB sekarang) dan satu lagi di Nanggung, kecamatan Nanggung. Disamping itu GWC van Motman membangun tempat pemakaman khusus bagi keluarganya yang terletak di Jambu, tepatnya di kampung Pilar sekarang ini. Perusahaan miliknya kemudian diteruskan oleh isteri dan anak-anaknya kemudian tidak jelas kapan perusahaan ini ditutup.
Pada tahun 1850an perusahaan keluarga van Motman beralih kepada pengusaha lain yaitu Tuan W A Baron Baud, ia juga seorang pengusaha agribisnis terkemuka di Jawa Barat termasuk Batavia yang memiliki perusahaan bernama “Cultur Ondernemingen Van Maatschapij Baud” dibuka tahun 1841 di Preanger (Bandung). Ia dilahirkan di Batavia (Jakarta) pada tanggal 21 Juni 1816, ayahnya bernama Jean Crétien baron Baud (1789 – 1859) seorang Gubernur-Jenderal Hindia Belanda dari 1833 sampai 1836 Setelah Johannes van den Bosch. J C Baron Baud adalah pembela yang kuat dari kebijakan kolonial Belanda “Tanam Paksa” (cultuurstelsel) dibawah perintah Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch yang sangat menyengsarakan Rakyat, yaitu dengan memaksa masyarakat menanam sejumlah tanaman menguntungkan bagi komoditi ekspor yang sebagian keuntungannya didedikasikan untuk menutupi hutang pemerintah Balanda saat itu.
W A baron Baud merupakan orang yang tergolong sukses di jaman itu sampai Baud sendiri meninggal pada tanggal 9 Mei 1879 dan dimakamkan di Jatinangor bersama-sama dengan Putrinya Mimosa. Mimosa sendiri adalah anak dari hasil hubungan gelapnya dengan seorang “Nyai”, sebutan untuk wanita pribumi simpanan orang-orang Belanda pada masa itu. Setelah Mimosa dibesarkan dan disekolahkan di Belanda, kemudian ia nikah dengan seorang berkebangsaan Denmark dan kembali ke Hindia Belanda (Indonesia) untuk meneruskan perusahaan ayahnya sampai ia meninggal di Bandung Pada akhir abad ke 19 dan dimakamkan berdampingan dengan Baud di Jatinangor, didaerah perkebunan miliknya.
Masih belum jelas bagi saya, siapa yang meneruskan persahannya pada waktu itu. Pada tahun 1909 penerus perusahaannya membuka kembali perkebunan Bolang (Cigudeg) bersama-sama dengan partner bisnisnya, menanam Kelapa Sawit, Teh dan Kopi dibawah perusahaan “N V Maatschappij tot Exploitatie de Ondernemingen Nagelaten door Mr. W.A. Baron Baud” dan pada tahun 1917 Cigudeg mulai dikembangkan oleh pemerintah Hidia Belanda sebagai bagian dari pusat administrasi pemerintahan di Kawedanaan Jasinga. Pada waktu yang sama mulai dibangun beberapa fasilitas umum seperti Rumah Sakit dan Pasar.
Rumah Sakit Cigudeg yang terletak di Kampung Ciuncal lebih dikenal dengan Ziekenhuis Bolang (Rumah Sakit Bolang) tahun 1920.(COLLECTIE TROMPENMUSEUM)
Hospital in Cigudeg known as Bolang 1920 (Collectie TROMPENMUSEUM)
Perusahaan W A Baron Baud ditutup pada tahun 1950 setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia yg ditandatangani pada tahun 1949. Seluruh Perkebunan ini kemudian diambil alih oleh Pemerintah Republik Indonesia dibawah kuasa PTP XII yang kemudian pada tahun 2000an beralih ke PTP VIII dengan pengalihan usaha ke perkebunan Coklat lalu Kelapa hingga menjadi perkebunan Kelapa Sawit saat ini.
Pada tahun 1960an Cigudeg masih termasuk wilayah kewedanaan Jasinga (Djasinga) yang kemudian berubah statusnya menjadi Kecamatan Cigudeg setelah Sistim Kewedanaan dihapuskan. Saat ini, Kecamatan Cigudeg terdiri dari 15 Desa/ Kelurahan, yakni ; Desa-desa Argapura, Bangunjaya, Banyu Asih, Banyu Resmi, Banyu Wangi, Batu Jajar, Bunar, Cigudeg, Cintamanik, Mekarjaya, Rengasjajar, Sukamaju, Sukaraksa, Tegalega dan Wargajaya.
CIGUDEG
The village of my birth formerly called Tjigoedik or written as well as Tjigoedeg. I still remember the sign was stamped on the pillar wall “TJIGOEDIK 1902”rather short bridge west tip at the edge of Setu Cigudeg lake, on the main road connecting the city of Bogor with Rangkas Bitung (Bantam) via Jasinga, a district that borders the districts of Banten, now the sign haas been dissapeared.
Cigudeg is a district in the western Bogor. The distance is approximately 40 km from the center of Bogor (formerly Buitenzorg) . Geographically, Cigudeg is located at 6 ° 32 ’54 “latitude, 106 ° 31′ 51” E with an altitude of 800 meters above sea level.
Old historical evidence that was found surrounding Cigudeg is the inscription of Koleangkak hill at Kampung Pasir Gintung Subdistrict bear bordering the District of Cigudeg. This inscription is a historical relic in the Tarumanagara kingdom, a kingdom that once ruled in west of the island of Java in 4th century until 7th century AD. Taruma is one of the oldest kingdom in the archipelago that left historical records and relics of royal artifacts around the site which covers almost all over West Java that strached from Banten, Jakarta, Bogor and Cirebon. In the years 1920 – 1960, we used to see still a lot of artifacts found there, including stone sculptures (ARCA) spreaded surrounding Cigudeg district. Now everything is gone since they had been abandoned for decades. At Mount Tela which lays very picturesque village just north of Cigudeg may still save a further historical mystery about the existence of these villages including the villages surrounding the district which stretches from east to west.
Sanskrit stone inscription of Djamboe (jambu), Pasir Koleangkak, Pasir gintung, Bogor was at first found by J Rigg in 1854.
From ancient times until 1920, Cigudeg is never mentioned in the literature, history even economic development in Indonesia. In 1809 Bolang better known as the designation for Cigudeg has been developed as an area of tea plantations, coffee and palm oil belongs to Gerrit Willem Casimir van Motman , who own the land in western Bogor region. He was born in the Netherlands in 1773 and died in Dramaga 1821. He has two large houses (landhuis), one in Dramaga (IPB university now) and another in Nanggung, the districts of Nanggung. Besides, GWC van Motman build a special burial place for his family located in Jambu, precisely in Pilar village today. The company then continued by his wife and children then it is unclear when the company is closed.
In the 1850s the company of van Motman family was switched to another entrepreneurs, Mr. WA Baron Baud. He was also a leading agribusiness entrepreneurs in West Java, including Batavia under his company name “Cultur Ondernemingen Van Maatschapij Baud “opened in 1841 in Preanger (Bandung). He was born in Batavia (Jakarta) on June 21, 1816, his father named Jean Chrétien baron Baud (1789-1859) a Governor-General of the Dutch East Indies from 1833 until 1836 After Johannes van den Bosch. Baron JC baron Baud was a strong defender of the Dutch colonial policy “Cultivation Enforcement” (cultuurstelsel) which was very painfull to local people, that by forcing people to grow a number of beneficial plants to export commodites in which part of its profits dedicated to cover Dutch government debt at that time.
Bolang (Cigudeg) rubber plantation in 1920. view from Cigudeg. (COLLECTIE TROMPENMUSEUM)
Oil Palm plantation in Cigudeg view from the same place at present 2010-wikimedia commons
He gained success in that era until Baud himself died on May 9, 1879 and buried in Jatinangor side by side with his daughter Mimosa. Mimosa herself was a daughter from the results of an affair with an “Nyai”, the name for a native female Dutch mistress at the time. After Mimosa was raised and educated in Holland, and he married a Danish nationality and returned to the Dutch East Indies (Indonesia) to continue running his father’s company until she died in Bandung in the late 19th century and buried next to Baud grave in Jatinangor on his plantation area. Still not clear to me, who continue the company at that time.
In 1909, the successor of the company reopened the estate Bolang (Cigudeg) together with his business partner, planting palm oil, tea and coffee under the company “NV Maatschappij tot de Ondernemingen Exploitatie Nagelaten door. W.A. Baron Baud ” . In 1917 Bolang (Cigudeg) began developed by the government of the Dutch Indies as part of the central administration in Kawedanaan Jasinga. At the same time some public facilities were established such as hospitals and markets.
Bolang Hospital in Cigudeg was built in 1918 the photo was taken in 1920th (COLLECTIE TOMPENMUSEUM)
WA Baron Baud company was closed in 1950 after recognition of the sovereignty of the Republic of Indonesia which was signed in 1949. The entire plantation was later taken over by the Government of the Republic of Indonesia under the control of PTP XII which was then in the 2000s switched to PTP VIII with the transfer of the business to cocoa but no longer and switched to coconut then oil palm plantations at present.
In 1960s Cigudeg still belonged kewedanaan Jasinga (Djasinga), which later changed its status into a district Cigudeg after Kewedanaan system abolished. At present the district of Cigudeg consists of 15 Villages / Desa, namely; Argapura village, Bangunjaya, Banyu Asih, Banyu Resmi, Banyu Wangi, Batu Jajar, Bunar, Cigudeg, Cintamanik, Mekarjaya, Rengasjajar, Sukamaju, Sukaraksa, Tegalega and Wargajaya .