
That morning, Saturday, October 27, 2012 I’ve been in Cigudeg and ready to continue the journey to the village of Urug, a village which is one of the remaining past civilization where the tradition is still maintained. I stopped in to pick up my brother, a sister and a nephew who wanted to go there with me. In around 1960 – 1964 all of us used to go to Urug village very often. At that time we were still kids and the leaders of Urug village was Ki Sapri whos more familiar called as Abah Sapri. Our oldest sister had lived in the village of Kiara Pandak which is closed to Urug , her husband served as an officer of the forestry department in this region and Abah Sapri very familiar with our family. We used to have to walk far more than 28 km to reach the village, sometimes we boarded on a timber trucks to rural Pandak Kiara (15 km) and from there we walk the 9 km to Urug through the walking path.

Gedong Ageung, a traditional Sundanese Urugs compound
Now the village is divided into three parts, namely Urug Valley, Central and Urug highland (Kampung Anyar).
After a short drive from Cigudeg, we arrived at the village of Urug highland (new village) where we met Ocim, an Urug villager we have known for long then we go on to the place we want to visit, the Urug valley .
Urug valley, is the center of traditional leadership authority, there is a large traditinal house / gedong Ageung, a traditional small tall feet house/gedong Alit or named as Paniisan and Gedong Pangkaleran , tomb of Urug ancestral lineage. Currently traditional leadership held by the respectful Head, Abah Ukat, which is a descendant of the 9th of previous derivatives which assumed “testament” to control and maintain the traditions that have been handed down in Urug in which within the complex is annually held celebration events which are based on its traditions. This is a Big traditional house which is characterized by equality Sundanese architecture with materials used from wood and the roof made of rumbia palm leaves (Hateup) and the house form has feet (stage) and consists of 5 rooms, each: Tepas or the front room, the living room serves as a multipurpose room, a part of residence, the kitchen and the back is a shed. as well as other parts separately is Gedong Alit (Paniisan) that is located in front of Gedong Ageung and rice barn called Leuit.

front side of Gedong Ageung and Gedong Alit

The living room

The rice barn (Leuit)

Cooking rice in the kitchen
Although we don’t send any notice prior to our arrival there, we were received by Abah Ukat very friendly. we had a conversation with him for almost an hour. When we asked about the customs that are still maintained in Urug, Abah Ukat explained that there are five major traditional event that is always held here, namely: Open-closed year called Seren Tahun which is held in Muharam (Islamic Year), Ruwatan, the celebration of Earth take place by the time of planting rice. And three celebration event in other Islamic months are Mauludan (Rabiul Awal), Rajaban, and Ruwahan (Sha’ban). All of this celebration event held in Gedong Ageung or better known by the Urugs as the “Ngariung”, that gathered together to offer praise to the Almighty, the creator of nature and its contents.

Bleesing a woman in trade
The Urugs assume that they are the offspring of King Siliwangi, the king in the kingdom Pajajaran, West Java. According to traditional beliefs Urug already standing contemporaneous with the Kingdom of Pajajaran and supposedly the rest of his service in the form of ancestral patilasan Urug still exist in the village, on the edge of a river (Cidurian?).
After listening to the accounts told by Abah Ukat, we were allowed to take photos around the complex Gedong Ageung. Before we parted leaving Urug, we were told by Abah Ukat, if we want to know more details about the genealogy and history of the establishment of village Urug, we can come back on Dec. 5th at the Close – Open Year or best known as Seren Tahun event where in Gedong Ageung is conducted genealogical narrative history of the event by an elder of the village Urug speakers ..
By midday we were apart left and parted Urug also Ocim, a villager who is very homely.
Location:
Coordinates: 6 ° 34 ’42 “S, 106 ° 29′ 28” E
Pagi itu, hari Sabtu, 27 Oktober 2012 saya sudah berada di Cigudeg dan siap untuk meneruskan perjalanan ke Kampung Adat Urug, sebuah perkampungan yang merupakan salahsatu sisa peradaban masa silam yang sampai saat ini ketradisiannya masih dipertahankan. Saya berhenti di pertigaan Cigudeg untuk menjemput seorang kakak, seorang adik dan seorang keponakan yang ingin ikut pergi kesana bersama saya. Sekitar tahun 1960 – 1964 Kami semuanya sudah sering pergi ke Kampung Urug sewaktu kami masih anak-anak. Pada waktu itu pimpinan adat di Urug adalah Ki Kolot Sapri yang lebih akrab dipanggil sebagai Abah Sapri. Kakak kami yang paling tua pernah tinggal di Desa Kiara Pandak sewaktu suaminya menjabat sebagai pemangku Matri Kehutanan di wilayah Sukajaya dan sekitarnya dan Abah Sapri sangat akrab dengan keluarga kami. Dahulu kami harus berjalan kaki sejauh kurang lebih 28 km untuk sampai di kampung ini, kadang-kadang kami naik truk pengangkut kayu dan hasil hutan lainnya sampai desa Kiara Pandak (15 km) dan dari sana kami berjalan kaki sejauh 9 km melalui jalan setapak.
Sekarang Kampung Urug sudah dimekarkan menjadi tiga bagian , yaitu Urug Lebak, Urug Tengah dan Urug Tonggoh (Kampung Anyar).
Setelah menempuh perjalanan singkat dari Cigudeg, kami tiba di Kampung Adat Urug Tonggoh (kampung anyar) dimana kami bertemu dengan Ocim yang telah lama kami kenal selanjutnya kami meneruskan perjalanan ketempat tujuan bersama Ocim, ke kampung Urug lebak.
Urug Lebak, merupakan pusat kewenangan kepemimpinan adat, dimana terdapat sebuah rumah besar/ Gedung Ageung , disamping itu terdapat pula Gedong Alit atau Paniisan dan Gedong Pangkaleran yang merupakan patilasan silsilah leluhur Urug. Saat ini kepemimpinan adat dipegang oleh Pak Kolot (Abah) Ukat, yang merupakan keturunan ke 9 dari turunan terdahulunya yang memangku “wangsit” untuk mengendalikan dan mempertahankan adat istiadat yang sudah turun temurun di Urug. Didalam kompleks inilah setiap tahunnya dilaksanakan acara-acara syukuran yang berdasarkan adat istiadat Urug. Rumah Besar ini mencirikan rumah adat bercirikan tradisi kesundaan dengan persamaan bahan yang dipakai terbuat dari kayu beratapkan rumbia (Hateup) serta bentuk rumah yang mempunyai kolong (panggung) dan terdiri dari 5 ruangan, masing-masing: Tepas yaitu ruangan paling depan, ruangan tengah berfungsi sebagai ruang serba guna, ruang bagian tempat tinggal, dapur dan paling belakang adalah gudang. serta dibagian lain secara terpisah adalah Gedong Alit (paniisan) yang letaknya didepan Gedong Ageung dan lumbung padi yang disebut Leuit.

Padi rice drying

Another type of rice barn in Urug
Walaupun kami tidak memberitahu terlebih dahulu kedatangan kami kesana, kami diterima oleh Pak Kolot Ukat dengan sangat ramah. kami sempat berbincang-bincang dengan beliau selama hampir satu jam. Ketika kami bertanya tentang acara adat yang masih dipertahankan di Urug, Abah Ukat menjelaskan bahwa ada lima acara adat yang utama yang selalu dilaksanakan disini, yaitu : Buka-tutup tahun yang disebut sebagai Seren Tahun yg diselenggarakan pada bulan Muharam (Tahun Islam), Ruwatan, yaitu syukuran Bumi yang dilakukan pada saat menjelang penanaman padi. Dan tiga acara syukuran pada bulan-bulan Islam lainnya yaitu Mauludan (Rabiul Awal), Rajaban, dan Ruwahan (Sya’ban). Semua acara syukuran ini diselenggarakan di Gedong Ageung atau lebih dikenal oleh masyarakat adat Urug sebagai acara “Ngariung”, yaitu kumpul bersama untuk memanjatkan puji syukur kepada yang Maha kuasa, pencipta alam beserta isinya.
Masyarakat Kampung Urug menganggap bahwa mereka berasal dari keturunan Prabu Siliwangi, raja di kerajaan Pajajaran, Jawa Barat. Menurut adat kepercayaan mereka Urug sudah berdiri sejaman dengan masa Kerajaan Pajajaran dan konon sisa – sisa pengabdiannya berupa patilasan leluhur Urug masih ada di Kampung Urug, ditepi sebuah sungai (Cidurian?).
Setelah mendengarkan keterangan-keterangan yang diceritakan oleh Abah Ukat, kami diperbolehkan untuk mengambil foto disekitar kompleks Gedong Ageung. Sebelum kami berpisah meninggalkan Urug, kami sempat diberitahu oleh Abah Ukat, jika kami ingin tahu lebih detail mengenai silsilah dan riwayat berdirinya kampung Urug, kami bisa kembali pada tanggal 5 Desember mendatang pada acara Tutup – Buka Tahun atau paling dikenal dengan acara Seren Tahun dimana di Gedong Ageung ini dilaksanakan acara penuturan silsilah riwayat Kampung Urug oleh seorang sesepuh Penuturnya..
Menjelang tengah hari kami berpisah meninggalkan Urug dan berpisah pula dengan Ocim, seorang warga Urug yang sangat bersahaja.
Lokasi:
Koordinat : 6° 34′ 42″ S, 106° 29′ 28″ E