I heard my mother was calling me from distance where I belong to. It is Cigudeg, the land where I used to live and grown up without sorrow. I still remember when I was a child. My Father was a nurse at a clinic beside he was also a farmer for just a narrow land around the village . He was quite famous to the people as a friendly man and talented one in his duty. when I was born he was promoted as doctor assistant. We lived in an old small house just a bit footstep far from the main road that cross the country closed to a lake. The house stood on a piece of land on the top of hilly place at the other side of the lake. It was surrounded by the coconut trees, bamboo, and many other fruit plants. My father also nourished small number of livestock, chicken and sheep, enough for family consumption. My mother was a housewife nursing their 9 children all together in which I am the 7th. After The acknowledgement of the Republic of Indonesia’s independence, in 1957 we moved to new house on the main road on a more wider land than previous one.
The time has passed by and all of the children were growing up demanding high cost for living of the family. In 1958 my mother opened a small food stall at the front of the house in order to support my father’s financial income at that time . Due to this reason, most of the children only get education at high school but my older brother was the only child graduated from Gajah Mada University in Yogyakarta in 1964 and later he left the village for Borneo to work at a state own Coal Company in Loa Kulu. In 1957 my younger brother born and 1960 the youngest one. 3 of my older sisters went to Bogor, working at different companies while I was still at elementary school in 1962 – 1968.
I spent most of my childhood in Cigudeg ,the lovely land I have ever known and where I used to be a sheep boy helping my father looking after the sheep for grazing during the day and return them back to the shade before sundown. After school session ended, some boys like me brought their own sheep to graze on a rubber plantation around the village. On such of this moment we used to play in the field until the sheep felt enough of food. I still remember when dry season came, the rubber trees fell their leaves off covering the ground in a softly thick cover provided the boys nice place for laying heads and play. We also used to make hats from the leaves by braiding them and shaped them into a hat.
Prior to return the sheep home, we stop by the lake for swimming and cleaned our body all at once. This lake has clear water, dense populated by the fish and shrimps even we could catch them by bare hands and took them home in our dirty shirt. There are many walnut trees along the road at a side of the lake and banyan (waringin) trees scattered here and there made the environment look marvelous. Those trees also housing thousand of birds from different species.
Now I am driving through a winding road from Bogor to Cigudeg in different time. All of the things I have ever got has gone many years ago. The shady road, the green rice field , the lovely villages and the crystal clear water of the rivers I pass by had changed into awful scenes.
Finally I found my village in a sorrow. It looks so busy, The land where I used to be was parch and the lake I love to swim is neglected.
Aku mendengar ibuku memanggilku dari jauh di mana saya pernah berada. itulah Cigudeg, tanah di mana aku dulu tinggal dan dibesarkan tanpa kesedihan. Saya masih ingat ketika saya masih kecil. Ayah saya adalah seorang perawat di sebuah klinik di samping ia juga seorang petani untuk hanya lahan sempit di sekitar desa. Dia cukup terkenal bagi masyarakat sebagai orang yang ramah dan berbakat dalam tugasnya. ketika saya lahir ia dipromosikan sebagai mantri kesehatan (pembantu dokter). Kami tinggal di sebuah rumah kecil tua hanya selangkah kaki agak jauh dari jalan utama yang melintasi desa didekat danau. Rumah itu berdiri di atas sebidang tanah di puncak perbukitan di disebelah lain danau. Rumah kami dikelilingi oleh pohon-pohon kelapa, bambu, dan banyak tanaman buah lainnya. Ayahku juga memelihara sejumlah kecil ternak, ayam dan domba, cukup untuk konsumsi keluarga. Ibu saya adalah seorang ibu rumah tangga mengurus 9 anak semuanya dimana saya adalah anak yang ke-7.
Setelah Pengakuan kemerdekaan Republik Indonesia, pada tahun 1957 kami pindah ke rumah baru di jalan utama di atas lahan lebih luas dibandingkan sebelumnya.
Waktu telah berlalu dan semua anak-anak tumbuh dewasa menuntut biaya yang tinggi untuk hidup keluarga. Pada tahun 1958 ibuku membuka warung kecil di depan rumah dalam rangka mendukung pendapatan keuangan ayah saya pada waktu itu. Karena alasan inilah, sebagian besar anak-anak mereka hanya mendapatkan pendidikan di sekolah menengah, kecuali kakakku adalah satu-satunya anak yang lulus dari Universitas Gajah Mada di Yogyakarta pada tahun 1964 dan kemudian ia meninggalkan desa pergi ke Kalimantan untuk bekerja di sebuah Perusahaan Negara Tambang Batubara di Loa Kulu. Pada tahun 1957 adikku lahir dan tahun 1960 yang termuda. 3 dari saudaraku yang lebih tua pergi ke Bogor, bekerja di perusahaan yang berbeda sementara aku masih di sekolah dasar pada tahun 1962 – 1968.
Aku menghabiskan sebagian besar masa kecilku di Cigudeg, tanah indah yang pernah kukenal dan di manaaku pernah menjadi pengembala domba membantu ayahku menjaga domba-domba itu merumput siang hari dan mengembalikan mereka kembali ke kandangnya menjelang matahari terbenam. Setelah sesi sekolah berakhir, beberapa anak laki-laki seperti aku membawa dombanya masing-masing untuk merumput di perkebunan karet di sekitar desa. Pada saat seperti inilah kami biasa bermain di lapangan sampai domba merasa cukup makan. Aku masih ingat ketika musim kemarau datang, pohon-pohon karet menjatuhkan daunnya menutupi tanah dengan lapisan tebal empuk , memberikan anak-anak tempat yang bagus untuk merebahkan kepala dan bermain. Kami juga biasanya membuat topi dari daun karet itu dengan menjalinnya terlebih dahulu lalu membentuknya menjadi topi.
Sebelum mengembalikan domba ke kandangnya, kami biasanya berhenti dipinggir danau untuk berenang dan sekaligus membersihkan tubuh. Danau ini memiliki air yang jernih, padat dihuni oleh ikan dan udang bahkan kami bisa menangkapnya dengan tangan kosong dan membawanya pulang didalam kemeja kotor kami. Ada banyak pohon kenari di sepanjang jalan di sisi danau dan pohon beringin (waringin) tersebar di sana-sini membuat lingkungan terlihat indah mengagumkan. Pohon-pohon itu juga merupakan rumah bagi ribuan burung dari berbagai jenis.
Sekarang aku sedang berkendara melalui jalan berkelok-kelok dari Bogor ke Cigudeg dalam waktu yang berbeda. Semua hal-hal yang pernah dapatkan bertahun-tahun yang lalu. Jalan teduh, sawah hijau, desa-desa yang indah dan air jernih dari sungai yang kulewati telah berubah menjadi adegan mengerikan.
Akhirnya saya menemukan desa saya dalam kesedihan. Ini terlihat begitu sibuk, Tanah di mana dahulu aku berada begitu memanggang dan danau yang kucintai untuk berenang sudah terbengkalai.
This is a true story of my childhood. send me you comment please. thanx xxx
LikeLike
It is a lovely land and I would like to see it with my own eyes.
LikeLike
I would be very happy if you would come, Thanx for reading, JKB
LikeLike
If I could I would be on the next plane. What an adventure that would be!
LikeLike
Well, I supposed have a private plane, I should have had picked you up, JKB 🙂
LikeLike
What a great thought! Thank you!
LikeLike
🙂
LikeLike
saya sangat terkesan tentang biografi anda…dan ingin rasanya mengembalikan kenangan manis tentang cigudeg..karna saya anak cigudeg…
LikeLike
Terima kasih Dek Heri atas kunjungannya. Memang seperti tempat2 lainnya, Cigudeg tidak seindah dulu lagi. Hal yg wajar dengan meledaknya penduduk dan perekonomian sekarang. namun paling tidak adalah untuk melestarikan alamnya adalah kewajiban semua orang disana.
LikeLike
Reblogged this on lost creek publishing.
LikeLike